Jumat, 24 Maret 2017
Seorang bijak mengatakan bahwa
orang yang kau temui, buku yang kau baca, situasi dan kondisi yang kau lewati
dalam perjalanan hidup bukanlah sebuah kebetulan. Tuhan gariskan itu untuk
kita, sekecil apapun itu tidak ada yang sia-sia dan itu akan membentuk
karaktermu. Begitu pula keberadaanku di Pare, tepatnya di Al Fitrah, bukan di
tempat kursus yang lain. Aku bertemu dengan orang-orang luar biasa, situasi dan
kondisi yang banyak mengajarkanku tentang banyak hal, buku-buku yang membuatku
begitu merasa kecilnya aku. Lembaran-lembaran hidup itu menambah semangat dan
syukurku untuk terus lebih baik dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dari
setiap nafas yang kuhembuskan dengan cintaNya.
Echa Qurniawati, dia berasal dari
Sidoarjo, teman seperiode denganku. Aku lebih dulu dua hari dari dia datang ke
Al Fitrah. Jumpa pertama dengannya aku terkesima, terpesona, ternganga,
berdegup cukup kencang jantungku. Dia begitu sangat mirip dengan Ibuku di
kampus. Paras wajahnya, cara dia berbicara, terkadang cara dia berpakaian, dan
lainnya. Aku hanya terus berucap takjub Allah mengirimkan teman seperti dia. Dan
itu membuatku semakin rindu dengan beliau, Ibu yang tiada duanya. Ibu yang mengajarkanku
tentang banyak hal. Beliau sosok ibu
yang banyak memberikan pembelajaran berharga dalam menghadapi dan menyelesaikan
berbagai masalah, akademik maupun nonakademik. Beliau yang dengan sabar, telaten,
begitu menuntun dan membimbing untuk mampu bersikap tegas dan mengatur waktu
dengan baik di tengah berbagai aktivitas dan masalah yang melingkupiku.
Kerendahan hati, kesabaran, kebijaksanaan, dan kedermawanan menjadi tauladan
bagiku dalam kebersamaan selama ini. Bimbingan dan ridho beliau selalu kuharapkan
di setiap langkah dalam meniti kehidupan ini.
Echa Qurniawati, pertemuanku dengannya seakan aku akan bertemu dengan
seorang kekasih. Aku bahagia, inginku memeluknya. Lamat-lamat kami berkenalan
dan bersama, banyak kesamaan di antara kami menambah komunikasi dan hubungan
kami semakin dekat. Walau tentu saja dia lebih muda dariku. Kami berbagi
pengalaman hidup pribadi, pekerjaan, dan hal lainnya dengan nyaman. Dia fokus
dalam mengajar di Sekolah Luar Biasa, Sidoarjo. Akupun demikian, alasan aku
kuliah dari S1 sampai S2 2015 kemarin dan bertahan dalam hidup selama ini
adalah untuk mengerti anak-anak berkebutuhan khusus. Kami menekuni bidang yang
sama. Kami pun menyukai hal yang sama dalam traveling. Kami pun berbagi cerita
dalam menentukan pilihan untuk pasangan hidup. Masih banyak kesamaan dan persoalan-persoalan
pribadi lainnya yang tak akan habis kami ceritakan. Selalu ada wacana yang tak
kunjung usai pun tak bosan bila kami sudah mulai berdiskusi. Dia pun memberikan
saran bila aku melakukan kesalahan atau tidak pantas dilakukan, begitu
sebaliknya. Kami saling menghargai, menghormati, menolong, mengoreksi, tetapi
tentu saja kami juga saling menghargai privasi masing-masing.
Kesamaan dalam diri kami, membuat kami sejalan pula untuk tujuan belajar
di Al Fitrah. Kami mengambil kelas privat speaking di luar Al Fitrah walau
hanya bertahan 3 pertemuan. Kami merasa kurang tepat mengambil kelas itu di
awal kami belajar, kelas itu cocok bagi mereka yang sudah di level intermediate
atau master. Kami kembali fokus pada program-program yang diberikan Al Fitrah.
Untuk menunjang dan mengembangkan English kami, kami membuat kesepakatan
program. Setiap weekend, di hari Sabtu dan Minggu, kami akan berjalan-jalan. Berjalan-jalan
untuk belajar dan merefresh setelah kesibukan kami di hari-hari weekday. Program
kami itu adalah bersepeda ke Taman Kilisuci Pare di awal pagi untuk menghirup
udara segar, merasakan embun yang jatuh dari dedaunan, pekatnya kabut pagi, dan
perawannya taman hari itu. Dan tentu saja yang utama adalah mencari teman baru
dari kursus lain yang akan kami ajak berbicara tentang apapun, menggunakan bahasa Inggris, dan kami
dokumentasikan. Dengan hal itu, kami akan belajar dan tahu perkembangan English
kami dari minggu ke minggu.
Berbagai hal kami lakukan bersama dan berdua. Mereka yang mengamati
mungkin merasakan kedekatan kami. Seseorang berkata dimana ada aku pasti ada
Echa, pun sebaliknya. Hingga suatu hari Echa mendapatkan telpon dari pekerjaan
dan memintanya untuk segera kembali. Entah apa yang kurasakan kala itu, bahagia
juga sedih. Bahagia karena temanku, Echa, diminta kembali dari pekerjaannya dan
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Tetapi sekaligus sedih dan perih di
sudut dadaku, baru kemarin kami membuat beberapa hal yang akan kami lakukan
hingga program 3 bulan kami selesai.
Baru kali ini aku merasa ditinggalkan dan mengkerutnya hati. Pertanyaanku
terjawab dan kini aku mengerti. Semenjak lulus dari Tsanawiyah hingga sekarang,
aku selalu merantau dari satu kota ke kota lain. Setelahnya satu atau dua kali
dalam setahun aku pulang ke rumah, bersama keluarga. Dalam hati aku selalu heran, mengapa mereka
harus menangisi kepergianku yang membuat langkahku berat. Yeah, kini aku tahu
karena mereka begitu mencintai dan menyayangiku. Pun karena hal ini, luka dan
kemarahanku akan seseorang kian memudar. Aku meninggalkannya begitu tiba-tiba
dan dengan sikap cuekku. Mohon maafkan Cinta, sesungguhnya Cinta pun merindu,
merindu setiap momen, petuah, pelajaran yang disampaikan. Hanya saja...
sepertinya Allah punya cerita untuk kita. Harapan Cinta kita baik-baik saja dan
saling mendoakan walau jarak memisahkan.
Aku akui keadaanku ke Pare tidak dalam kondisi yang baik. Aku membawa
luka yang sangat dalam, kepedihan yang begitu pekat, ketakutan yang mencekam,
kekhawatiran yang membuat tenggorokanku tersekat, kebingungan yang tidak
berbentuk, dan traumatis yang menyakitkan. Namun berkat dukungan orang-orang
terkasih, tersayang, tercinta, yang begitu besar mencintaiku dengan sabar,
mereka mendukungku untuk ke Pare. Kedua orang tuaku, adik-adik tersayang,
guru-guru yang selalu kuta’dhimi, keluarga suamiku, pun suami tercinta. Walau
sempat aku ajukan pada suamiku, tidakkah lebih baik aku ke pondok saja di
Cirebon, namun ia memberikan jalan lebih baik ke Pare. Ia sampaikan, bila ke
pondok sudah biasa dari dulu Cinta di pondok, tetapi di Pare pasti Cinta akan
menemukan sesuatu yang lain. Ia tenangkan hatiku untuk mengajakku mondok
bersama, nanti. Terima kasih banyak tak terkira untuk suamiku yang selalu
mendukung cintamu, yang kian manja. Dan kini luka itu benar-benar hilang,
kepedihan itu menguap, ketakutan itu pecah, kekhawatiran itu beringsut,
kebingungan itu pudar, dan traumatis itu mengecil.
Yeah, dua hari sebelum Echa benar-benar meninggalkanku, tangisku tumpah. Tentu
saja tidak di hadapannya, seperti biasa aku pergi ke kamar mandi dan menyalakan
kran air. Hingga sehari sebelum Echa pergi, aku masih belum bisa mengontrol
emosi. Aku berbicara tak karuan, aku semakin banyak bicara tidak jelas pada
teman-temanku di sana. Bila mereka memperhatikanku, mungkin mereka heran dan
bertanya-tanya ada apa gerangan denganku dan tidak biasanya bicaraku tak
terkontrol. Karenanya, aku harus memaksakan diri untuk merelakan dan
mengikhlaskan kepergiannya. Aku alihkan kesedihanku dengan aktivitas yang
berkualitas dan baik. Aku menyibukkan diri hingga akhirnya Echa benar-benar
pergi dan aku sendiri. Yeah, pertemuan pasti ada perpisahan, hanya tinggal
seberapa siapkan diri untuk berjalan sendiri.
Aku akui terasa begitu singkat waktu bersamanya. Namun demikian, kami
lewati hari-hari dengan berkualitas. Semangat belajar kami yang tidak pernah
surut membuat kami tidak mengenal lelah. Weekday yang padat tidak membuat kami
mengeluh karena pada hari weekend akan kami lepaskan kepenatan itu dengan
jalan-jalan yang berkualitas. Minggu pertama kami bersepeda mengelilingi
Kampung Inggris, satu sepeda berdua karena saat itu Echa belum menyewa sepeda.
Minggu kedua kami bersepeda ke Candi Surowono bersama dua teman kami lainnya,
Aufa dari Semarang dan Feby dari Bima. Minggu ketiga kami bersepeda ke Gua
Surowono, berlima yang dilengkapi Dek Nurul dari Makassar. Minggu keempat kami
ke Simpang Lima Gumul yang dilanjutkan ke Batu, Malang, meski tanpa
perencanaan.
Perjalanan kami di minggu keempat adalah momen yang susah untuk dilupakan.
Aku, Echa, Aufa, dan Feby menyewa dua sepeda motor di awal pagi sebelum para
penjual menjajakan dagangannya. Kami berencana untuk ikut merasakan dan mencoba
memaknai dari bangunan terkenal di Kediri, Simpang Lima Gumul, Bangunan Kediri
rasa Paris. Bertepatan dengan rencana kami, para senor baik putra maupun putri
dari kelas master, mereka pergi ke Malang, ke beberapa tempat wisata. Mereka
pergi di awal pagi sebelum kami.
Aura kebanggaan, kepahlawanan, dan kesejarahan sudah mulai terasa ketika
kami mulai melihat ujung dari bangunan itu dari kejauhan. Ya, Simpang Lima Gumul.
Segeralah kami mengambil beberapa foto dengan berbagai pose. Sempat pula kami
dimarahi oleh penjaga kebersihan karena kami mengambil foto sementara lantai
belum kering setelah dipel. Usai kami lelah dengan selfie-selfie, Echa mengajak
kami ke Batu. Dia mengusulkan itu karena kami menyewa sepeda motor untuk 24 jam
dan sangat disayangkan kalau hanya ke Gumul. Kamipun menyepakatinya dan
segeralah kami bertolak ke Batu usai dari Gumul. Namun, baru saja perjalanan
kami berlalu 15 menit, seseorang dari belakang kami mengingatkan aku bahwa
sepeda motor yang aku naiki bersama Echa bocor. Kami bersyukur ada yang
mengingatkan dan tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Perasaan kami
kala itu bercampur aduk dan mengira-ngira apakah perjalanan kami tidak diridhoi
Allah.
Aufa menemukan bengkel tidak jauh dari kedapatan ban sepeda motor kami
bocor. Sepeda motor kami diperbaiki sementara kami bisa bersarapan pecel di
warung terdekat. Akhirnya kami pun mengambil sisi baik dari kejadian ini, dari
hal ini kami diberi kesempatan untuk sarapan sebelum melakukan perjalanan yang
cukup jauh. Mungkin bila tidak terjadi demikian, perjalanan akan kami teruskan
hingga ke Batu dan tentu saja perut kami akan protes. Sembari makan pecel yang
cukup murah meriah dan teh hangat yang manis semanis senyum penjualnya kala
itu, kami berdiskusi tempat wisata yang akan kami kunjungi. Begitu beragam dari
harga, jarak, fasilitas, dan view yang ditawarkan dan jatuhlah pilihan kami ke
Selecta, Batu dengan pertimbangan yang paling tepat, meski kami tidak tahu arah
dan jalan menuju Selecta dari Kediri. Dan tentu saja akhirnya perjalanan kami
berbekal Google Map. Meski hanya sampai di tengah perjalanan karena hpku juga
hp Feby dayanya terkuras lantaran aplikasi tersebut.
Di tengah perjalanan itu, sampailah kami pada pertigaan yang membuat kami
bingung. Aku pun bertanya mengenai arah ke Selecta pada penduduk setempat.
Lelaki separuh baya yang kutanya itu menjelaskan kedua arah ini menuju Selecta,
tetapi arah ke kiri lebih dekat. Kami pun memilih jalan tercepat. Dan
Subhanallah............................ tiada henti kami saling mengingatkan
untuk berhati-hati dan hati kami untuk selalu berdzikir. Jalan turunan dan
tanjakan yang kami lewati begitu sangat menukik tajam dan panjang. Hati kami
kian berdebar tak karuan, degupan jantungku kian terdengar keras, tetapi kami
harus tetap fokus dan terkendali. Dalam perjalanan kami pun tahu, jalan itu
adalah jalan menuju Paralayang, Batu. Tentu saja kami tidak berhenti bersyukur
karena kami mampu melewati jalanan itu yang kami tidak pernah tahu dan tidak
mengira perjalanan yang akan kami lewati sedemikian cantiknya.
Sepuluh menit sebelum kami sampai di lokasi wisata, kami pun berjumpa
dengan kecelakaan dua anak sekolah yang bertabrakan. Masih teringat dalam
ingatanku, seorang yang sedang memegang kepalanya karena bingung dan kesakitan,
sementara satu lainnya, innalillahi.... kepalanya berlumuran darah merah nan
segar dan tak sadarkan diri. Aku pun tak tahu apakah kedua lelaki itu selamat. Mereka
dikerumuni orang sekitar yang membantu untuk segera dibawa ke UGD. Kami tak
sanggup untuk berhenti melihat hal itu. Perjalanan kami lanjutkan dengan tiada
henti bersyukur, berdzikir, dan lebih berhati-hati serta waspada.
Perjalanan kami dari Kediri menuju Selecta, Batu, ditempuh dengan waktu
sekitar 3 jam. Kami sampai di lokasi pada jam 11 siang. Kami beristirahat di
musholla lokasi wisata dan kami putuskan meneruskan perjalanan setelah shalat
dhuhur. Kami regangkan otot pun hati yang sedari tadi kian kaku dengan rasa
yang campur aduk, lagi.... kami tak henti bersyukur dan berdzikir karena hingga
disampaikan pada tempat tujuan dengan tidak kurang suatu apapun.
Usai shalat dhuhur, kami nikmati dan syukuri detik demi detik, satu demi
satu, tempat demi tempat, dan keindahan alam yang Allah ciptakan untuk kami,
untuk manusia, untuk hamba-hamba yang berpikir hingga tak terasa jarum jam
pendek menunjukkan angka empat dan jarum panjang pada angka 6. Kami sudahi
decak kagum itu dan kembali ke mushola untuk shalat ashar sebelum kami bertolak
ke Kediri. Namun langit berubah pekat seakan ia akan tumpahkan semua tangis
bahagianya hari itu dengan segera. Karenanya kami segera melanjutkan perjalanan
sebelum sempat kami ke mushola. Kami memutuskan untuk berhenti di musholla
penduduk untuk mengatur waktu perjalanan pulang dengan efisien. Dan sampailah
kami di Masjid Biru yang indah nan cantik, pun menyegarkan dan langitpun
menurunkan berkahnya melalui percikan-percikan air hujan yang cukup deras. Kami
gunakan waktu itu untuk tertidur sejenak usai shalat ashar karena perjalanan yang sangat luar
biasa. Namun tetap saja, aku mencoba memejamkan mata dengan berbagai cara
tetapi tak juga bisa. Tepat jam 5 sore kubangunkan ketiga temanku dan kami
melanjutkan perjalanan pulang.
Perjalanan pulang kami kali ini tanpa dibekali arah dari Google Maps atau
semacamnya karena keempat hp kami off alias tak bernyawa karena kami tidak
membaca charger. Tentu saja karena perjalanan ini tidak kami rencanakan. Kami ikuti
naluri hati kami dan pastinya aku bersama Echa selalu berada di barisan depan.
Langit semakin gelap dan udara terasa menelisik menyentuh tulang sumsum. Kami
pun tidak menyiapkan pakaian untuk jarak jauh, untuk setidaknya memakai jaket
atau masker. Sungguh perjalanan yang luar biasa. Sepanjang jalan, kami terus
saling mengingatkan untuk tidak berjauhan dan selalu berdzikir dalam hati kami,
berhati-hati dan lebih waspada. Walau demikian, perjalanan itu sangat kami
nikmati, aku bersama Echa, tidak henti berdiskusi mengenai berbagai macam hal hingga akhirnya kami tiba di kota Kediri sementara adzan maghrib berkumandang. Kami
berencana shalat di tengah kota, Mall Trans Kediri, agar usai shalat kami bisa
langsung makan malam sambil menikmati pemandangan hilir mudik orang-orang di
sana.
Namun Allah berkendak lain untuk kebaikan kami, Allah tuntun arah
perjalanan kami yang tiba-tiba sudah ada di depan Masjid Agung Pare, yang tidak
jauh dari camp Al Fitrah. Kami pun memutuskan untuk shalat di camp alias
pulang, karena tentu saja shalat kami lebih nyaman bila tubuh kami rileks dan
bersih. Kami tidak berhenti berdecak kagum, luar biasa, penuh syukur. Perjalanan
pulang dari Batu ke Kediri yang tanpa google maps, di tengah gelapnya langit
tanpa matahari, sisa-sisa tenaga, disampaikan ke camp Al Fitrah dengan selamat,
sehat, dan tidak kurang suatu apapun dengan waktu 1 jam 30 menit.
Subhanallah.... Alhamdulillah.... Alllahu Akbar...
|
Hari pertama Aufa di Pare, Stadion Canda Bhirawa by bicycle |
|
Taman Kilisuci Pare, taman pertama kita :D |
|
Menuju Pintu Gua Surowono |
|
Selamat hingga akhir usai menelusuri jejak Gua Surowono |
|
Sebelum melanjutkan perjalanan menuju Selecta, Batu |
|
Bahagiamu bahagiaku |
|
Sibuk selfi dan foto-foto sendiri, gini ini jadinya kalau ada Feby :D |
|
Candid by Feby, pinggiran lorong bunga Selecta |
|
Sebelum langit menangis bahagia |
|
Sekali lagi, hehehe |
|
Cekrek by Echa |
|
di tengah taman bunga yang terhampar cantik |
|
Weekend Berkualitas di Taman Kilisuci |
|
Sehari sebelum Echa pulang |
|
Memorize pagi hari |
|
Habis basah-basahan dalam gua bareng anak2 Jakarta |
|
Sekali, sebelum pulang |
|
Mumpung Feby mau Wefie :D |
|
Candid by Feby, yang gak suka difoto |
|
Pakek gaya kalem :D |
|
Kami, tertawa bahagia, karena bersama |
|
Cekrek dulu :P |
|
Belajar bersama alam dengan Mr. Rio |
|
sebelum merjamah dalamnya gua |
|
Usai diusir, pindah ke sisi yang lain :D |
|
Sesaat sebelum diusir penjaga kebersihan :D |
|
Usai dimarahi Petugas Kebersihan :D |
|
Di antara bunga-bunga yang indah, ada yg paling cantik, kita :D |
|
Wefie sebelum gelap datang |
|
Selecta, sebelum naik kuda putih |
|
Kuda Putih, harapan Echa, Pangeran akan membawanya dg iyu :D |
|
Party with My Son in Law :D |
|
Usai Kelas Speaking bersama Aa Handsome |
- Ibuku di kampus, beliau Dr. Kusubakti Andajani, M.Pd
- Cinta, aku Robiah Al Adawiyah or Nanda Cinta Aulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar