Oh My God, kukira sombong itu hanya
milikMu. Kok ya ada yang ingin menyaingiMu, sombongnya gak ketulungan.
Kurasa ini memang racun. Harus
segera cari penawar, telat bisa mati dan hancur masa depan.
Hemm, cara pandang setiap kepala
manusia terhadap sesuatu memang berbeda, dan itu harus DISADARI. Sekalipun anak
kembar yang hampir 99 persen mirip, dan pendapat umum menyatakan mempunyai
feeling yang kuat diantara keduanya, tetap saja isi kepala mereka berbeda.
Memandang sesuatu dihadapan mereka pasti berbeda. Apalagi dengan mereka yang
memang berbeda, tentu berbeda pula yang menjadi INFERENSI dalam hidupnya.
Salah satu guru berkata, "hidup
itu jangan hanya SYARIAT
kalau mau dekat denganNya, capailah HAKIKAT hingga kau
MAKRIFAT dengan dan padaNya.
Saya ingin makan, kata orang jawa,
"kulo kepingin dahar, kulo kepingin madang, kulo luwe", dan
macam-macam lainnya pengungkapan "ingin makan". Apalagi ada kromo,
ngoko, kromo inggil, wah banyak sekali. Di bahasa Sunda, "Ampuni dosa kami
ya Allah", "nuhun dihampura gusti", "nuhun pangampura
pangeran abdi", dan macam-macam lainnya. Begitu juga dengan bahasa
Inggris, Spanyol, Arab, dan lain sebagainya pasti berbeda.
Ya, bahasa dapat dipandang mempunyai
potensi untuk menciptakan makna baru. Hal ini merupakan salah satu alasan
mengapa bahasa jauh lebih rumit daripada sinyal dari lampu lalu lintas. Satu
dimensi penting lain dalam bahasa adalah kita bisa menggunakan bahasa untuk
berbagai tujuan yang berbeda. Seperti halnya untuk tujuan hanya sekedar
basa-basi, referensi, afektif, dan atau tujuan lainnya. Masing-masing tujuan
tersebut akan mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Namun, fungsi
referensi dan fungsi afektif memiliki peran besar. Fungsi referensi dari
bahasa adalah yang terkait dengan nama apa yang digunakan untuk menyebut objek
dan ide serta bagaimana cara mendeskripsikan kejadian tersebut. Sementara
fungsi afektif dalam bahasa terkait dengan siapa yang “boleh/berhak” mengatakan
apa dan hal ini erat sekali kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial.
Selanjutnya, ada keanekaragaman bahasa dilihat dari siapa
yang menggunakan bahasa apa, dan jenis bahasa apa yang mereka gunakan, serta
bagaimana sikap orang terhadap bahasa (atau terhadap jenis masalah itu).
Komponen-komponen tersebut sangat terkait dengan masyarakat dan kekuasaan.
Kekuasaan ini seringkali ditunjukkan melalui bahasa, dan
bahkan kekuasaan juga diterapkan atau dilaksanakan lewat bahasa. Tentu hal ini
sangat terkait pula dengan hierarki masyarakat. Selain itu, kita belajar
tentang bagaimana berperilaku sopan dan bagaimana menentukan mana yang bernilai
dan tidak, juga melalui bahasa.
Keterkaitan masyarakat dan kekuasaan
dengan keanekaragaman bahasa dibuktikan oleh pendapat Surbakti (dalam Sadiyo,
2001)[1]disebutkan bahwa kekuasaan biasanya berbentuk hubungan,
yaitu (1) kekuasaan merupakan hubungan antarmanusia, (2) pemegang kekuasaan
mempengaruhi pihak lain, (3) pemegang kekuasaan dapat seorang individu,
kelompok, organisasi, atau pemerintah, (4) demikian pula sasaran kekuasaan,
…dst. Terlihat jelas bahwa masyarakat dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan.
Bentuk-bentuk kekuasaan tersebut terjadi melalui bahasa yang sesuai dengan
siapa yang menggunakan bahasa apa, dan jenis bahasa apa yang mereka gunakan.
Pernyataan di atas sejalan dengan
pendapat Brown dan Gilman (dalam Ibrahim, 1994)[2] bahwa mereka mengembangkan model keragaman pemakaian
bahasa berhubungan dengan hubungan peran kekuasaan dan keakraban. Digambarkan
bahwa kekuasaan dalam bentuk garis vertikal, sedangkan keakraban dengan garis
horizontal. Kedua proses tersebut bersumber dari realitas psikososial
penutur-mitratutur, misalnya kesamaan atau perbedaan bentuk fisik, keturunan,
harta, umur, jenis kelamin, kelompok, profesi, mayoritas-mayoritas aliran, dsb.
Pada umumnya garis vertikal dapat ditemui ada pada masyarakat tradisional,
sedangkan garis horizontal terjadi pada masyarakat penganut ideologi kesamaan
hak dan kewajiban.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa bahasa dan peranannya merupakan sekelompok sistem (sistem bunyi, sistem
tata bahasa, sistem makna) dan variasi dalam penggunaan bahasa
seringkali bersifat sistematis pula, namun tentu sesuai dengan konteks yang
menyertainya, seperti dijelaskan oleh Soeparno (2002)[3] meliputi variasi kronologis, geografis, sosial,
fungsional, gaya/style, kultural, dan individual. Selain itu, bahasa juga dapat
memengaruhi pandangan orang yang menggunakan bahasa, dan hal ini berkaitan
dengan kekuasaan dan status sosial seseorang dalam masyarakatnya.
[1] Sadiyo. Masyarakat dan Kekuasaan. (Malang
: UM, 2001), hlm. 42-43.
[2] Abd. Syukur Ibrahim. Sosiolinguistik; Sajian
Model Fungsional Bahasa.(Malang: IKIP Malang, 1994), hlm. 42-43.
[3] Soeparno. Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 71-78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar