Sabtu, 24 September 2011

Serpihan Mutiara Hati edisi pertama


Aku memaksa.
Adik sepupu Umi, Tina namanya. Melarangku melakukan penelitian di kampungnya lantaran ada seorang gadis kecil yang aneh di kampung Talung itu. Namun aku bersikeras tetap akan melakukan tugas dari kampus untuk penelitian. Dengan alasan apa pun dan siapa pun yang mencegahku, terlebih hanya karena keberadaan gadis kecil itu.
Bi Tina pun akhirnya menampungku. Ia hanya berpesan untuk tidak keluar rumah dan telingaku ditutup kapas agar tidak dapat mendengar apa pun saat malam tiba. Aku semakin penasaran. Pesannya aneh dan tidak masuk akal.
Malam pertamaku di Talung penuh teka-teki. Aku tidak menuruti apa kata bibi. Aku mencoba membuat beberapa langkah untuk penelitian hingga larut malam. Tepat jam 00.00 WIB aku merasakan sesuatu yang ganjil. Tangis panjang anak kecil yang memilukan. Namun semakin lama suara itu terasa semakin dekat. Telingaku tak dapat menahannya. Berdarah. Walau aku terus mencoba menutup telingaku sekuat tenaga untuk tidak mendengar jeritan gadis kecil itu.
Satu jam terlewati. Suara itu pun laun berhenti pelan. Bibi yang sejak sore tidak tidur menghampiri kamarku. Ia kaget melihat tangan dan telingaku berdarah. Namun bibi mengerti lantaran sifatku yang keukeuh dan tidak mau menuruti apa kata orang jika memang tak beralasan.

***

Talung yang hijau. Dedaunan menari riang. Angin melambai-lambai. Sinar mentari pun ikut melengkapi kesempurnaan Talung. Talung memang kampung yang asri. Lokasi yang berada di kaki gunung membuatnya banyak dicintai warga. Namun saat malam tiba, kampung terasa mati.
Pagi ini bibi mengajakku ke ladangnya di seberang sungai yang lumayan jauh dari rumah. Saat perjalanan, aku melihat gubuk yang aneh, kecil, gelap dan terkesan menyeramkan. Aku tak begitu menghiraukan.
Penelitian aku mulai dengan berkunjung ke Pak Lurah dan pihak-pihak terkait yang kubutuhkan. Usai mendapat persetujuan dari mereka, aku berkeliling kampung untuk lebih memastikan apa yang dibutuhkan masyarakat dalam waktu dekat ini. Namun ada sedikit keganjilan dengan sikap Pak Lurah yang mungkin ada sesuatu yang ia sembunyikan. Oleh karenanya aku semakin penasaran apa yang terjadi pada masyarakat Talung saat ini.
Dari beberapa warga yang kutemui, mereka semua berpesan untuk tidak mendekati gubuk yang ada di seberang sungai. Namun mereka tidak memberi alasan dan itu membuatku semakin ingin mengetahuinya.
Waktu hampir maghrib, dan aku belum dapat menemukan alasan sikap warga yang aneh itu. Aku putuskan untuk mencarinya kembali esok hari. Namun dalam perjalanan pulang aku melihat dua gubuk di seberang sungai menyeramkan itu. Di depan gubuk itu, ada seorang nenek yang sedang memintal. 
Aku memberanikan diri untuk mendekat. Nenek tua itu pun merasakan kehadiranku. Ia memanggilku. Ia berpesan untuk tidak mengulang lagi mendekati gubuknya. Untuk pertama dan terakhir kalinya. Nenek tua itu juga tahu alasan aku mendekati gubuk menyeramkannya. Oleh karenanya, ia menceritakan sesuatu yang aku cari-cari tentang gadis kecil yang menangis di malam hari.

***
Di balik tirai itu, aku tahu sesuatu yang mungkin dapat menghilangkan nyawa siapa pun dalam sekejap. Bahkan seekor lalat sekalipun.
            Arini, gadis kecil yang haus akan darah dan cinta. Lolongan tangisnya memecahkan malam yang hening. Junghun tepat menunjukkan angka 00.00 WIB. Warga takkan lagi heran jika tiba tepat jarum menunjuk pada angka itu akan ada suara yang mengguncangkan kampung. Siapa pun takkan berani keluar rumah dan semua berusaha semampu mereka untuk menutupi telinga karena dengan suara itu telinga mereka pasti berdarah. Bahkan sampai mati.
           
***
bersambung.... (sebelum ke edisi selanjutnya, tinggalkan komentar dulu ya ^_^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar