Sore ini begitu terasa sesak.
Rongga dadaku tidak lagi mempunyai celah udara. Tertahan. Nyeri dan
dalam. Semua persoalan datang silih berganti dan bertumpuk di sore ini. Aku,
Lyla. Kusadari sebagai anak pertama yang mempunyai adik dengan bejibun masalah,
tentu tak bisa tinggal diam. Aku harus menyelam lebih dalam, mencari kerang dan
mutiara dengan tangan kosong. Tak ada bekal, tak ada persiapan.
Tidak akan menjadi sesak, mungkin kalau masalah itu datang dan mengantri
saja. Tidak bertumpuk dan mengeroyokku yang lemah ini. Detik demi detik, waktu
berjalan begitu sangat lamban. Tak henti-henti pula aku mencari cara, solusi
dari beberapa persoalan itu.
Aku mencoba menenangkan diri. Menghibur diri. Membohongi diri lebih
tepatnya. Sejenak menghubungi teman-teman nan jauh di kota seberang. Sejenak pula
mengitari kampus hanya sekedar menghirup udara segar sore hari. Aku terus mencoba
tersenyum dihadapan teman-teman. Namun tetap saja persoalan itu terus
menghantuiku, membayangi mataku.
Aku sadari kelemahan fisikku. Aku harus melawan penyakit mematikan
itu. Namun disisi lain aku harus menjadi pahlawan bagi keluargaku.
Penagih satu, penagih dua, mulai menghubungiku. Terlintas pula
beban orang tuaku. “Tidakkah mereka mengerti kesulitanku? Ah, tidak. Mereka tak
akan mengerti.”
“Aku percaya Engkau Maha Tahu, tahu akan aku. Kemampuanku. Kelemahanku.
Kau beri buah apel, karena Engkau tahu aku bisa memakan buah itu” gerutuku
menyemangati diri. “Yach, aku pasti bisa.”
Perlahan aku ambil nafas begitu panjang dan dalam, perlahan pula
aku keluarkan. Sembari mengelus dada. Terasa cukup luas dan melegakan. Tersadar
tangan kananku berada tepat di dada. Benjolan itu. Benjolan yang semakin hari
semakin besar dan kadang memberontak.
“BismilLah...” ucapku berulang kali meyakinkan pertolonganNya...
Air bening pun turut melegakkanku. Beberapa gelas telah ada di perutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar