Selasa, 27 September 2011

Sore nan Mendung


          Sore ini begitu terasa sesak.
          Rongga dadaku tidak lagi mempunyai celah udara. Tertahan. Nyeri dan dalam. Semua persoalan datang silih berganti dan bertumpuk di sore ini. Aku, Lyla. Kusadari sebagai anak pertama yang mempunyai adik dengan bejibun masalah, tentu tak bisa tinggal diam. Aku harus menyelam lebih dalam, mencari kerang dan mutiara dengan tangan kosong. Tak ada bekal, tak ada persiapan.
          Tidak akan menjadi sesak, mungkin kalau masalah itu datang dan mengantri saja. Tidak bertumpuk dan mengeroyokku yang lemah ini. Detik demi detik, waktu berjalan begitu sangat lamban. Tak henti-henti pula aku mencari cara, solusi dari beberapa persoalan itu.
          Aku mencoba menenangkan diri. Menghibur diri. Membohongi diri lebih tepatnya. Sejenak menghubungi teman-teman nan jauh di kota seberang. Sejenak pula mengitari kampus hanya sekedar menghirup udara segar sore hari. Aku terus mencoba tersenyum dihadapan teman-teman. Namun tetap saja persoalan itu terus menghantuiku, membayangi mataku.
         Aku sadari kelemahan fisikku. Aku harus melawan penyakit mematikan itu. Namun disisi lain aku harus menjadi pahlawan bagi keluargaku.
        Penagih satu, penagih dua, mulai menghubungiku. Terlintas pula beban orang tuaku. “Tidakkah mereka mengerti kesulitanku? Ah, tidak. Mereka tak akan mengerti.”
         “Aku percaya Engkau Maha Tahu, tahu akan aku. Kemampuanku. Kelemahanku. Kau beri buah apel, karena Engkau tahu aku bisa memakan buah itu” gerutuku menyemangati diri. “Yach, aku pasti bisa.”
          Perlahan aku ambil nafas begitu panjang dan dalam, perlahan pula aku keluarkan. Sembari mengelus dada. Terasa cukup luas dan melegakan. Tersadar tangan kananku berada tepat di dada. Benjolan itu. Benjolan yang semakin hari semakin besar dan kadang memberontak.
          “BismilLah...” ucapku berulang kali meyakinkan pertolonganNya... Air bening pun turut melegakkanku. Beberapa gelas telah ada di perutku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar